Kamis, 19 Oktober 2023

IMPLEMENTASI PERHUTANAN SOSIAL PADA AREAL KHDPK-PS

 


PP No 23/2021, Pasal 112 ayat (1),  secara jelas mengatur tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dilakukan pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) ditetapkan untuk kepentingan (Pasal 112) :
  • Perhutanan Sosial
  • Pengukuhan Kawasan Hutan
  • Penggunaan Kawasan Hutan
  • Rehabilitasi Hutan
  • Perlindungan Hutan
  • Jasa Lingkungan
Ayat selanjutnya (2), pada pasal tersebut di atas, Penetapan KHDPK dilakukan dengan ketentuan :
  • Tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan
  • tidak mengubah bentang lahan pada Hutan Lindung atau Hutan Produksi dan;
  • penutupan Hutannya bukan berupa Hutan primer. Sehingga khusus di Jawa peralihan pengelolaan dari Perum Perhutani ke Pengelolaan PS tidak akan merubah fungsi hutan
Dalam rancangan Peraturan Menteri tentang Persetujuan Pengelolan PS, ditetapkan bahwa (Pasal 174): (1) Menteri menetapkan areal KHDPK; (2) Areal KHDPK di pulau Jawa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari: lokasi IPHPS,  areal PIAPS, hutan lindung yang rusak, hutan produksi dan hutan lindung zona konflik tenurial, sebagian hutan produksi zona adaptif, areal pengakuan dan perlindungan Kemitraan Kehutanan, dan areal yang sudah dilakukan pengelolaan hutan atas inisiatif masyarakat;  (3) Pencadangan areal perhutanan sosial pada KHDPK ditetapkan oleh Menteri.

Dalam Bagian Penjelasan PP23/21 pun mengamanahkan perlunya dilakukan perubahan terhadap beberapa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4 tersebut di atas, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, keberpihakan kepada Masyarakat kecil, mendorong pertumbuhan dan investasi, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, menyelesaikan permasalahan :
  • Penyelesaian tenurial Kawasan Hutan ;
  • Efisiensi pengelolaan Kawasan Hutan oleh badan usaha milik negara Kehutanan dengan fokus pada pendapatan negara dan efektivitas perusahaan; dan
  • Pengurangan areal kerja badan usaha milik negara Kehutanan yang paling sedikit diperuntukkan bagi Perhutanan Sosial
Lebih detil dalam Rancangan Permen Persetujuan Pengelolaan PS, unit pelaksana teknis pengelola KHDPK sebagaimana melaksanakan: (a) kegiatan pengelolaan perhutanan sosial; (b). koordinasi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan :
  • Penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan,
  • penggunaan kawasan hutan;
  • rehabilitasi hutan;
  • perlindungan hutan; dan
  • pemanfaatan jasa lingkungan
KONSEKUENSI PENGALIHAN AREAL PERUM PERHUTANI KE PENGELOLAAN PS
Beberapa hal yang harus dipikirkan oleh Pemerintah sebagai konsekwensi kebijakan PS di Jawa.  Hitungan yang paling mudah adalah biaya-biaya yang harus disiapkan dan ditanggung;  berkurangnya pemasukan Negara dari pajak-pajak lahan dan asset; dan persiapan di masa transisi karena UPT  khusus yang akan dibentuk.
Sebagai konsekwensi atas penyerahan kembali lahan, asset dan pegawai BUMN kepada Pemerintah, maka daftar biaya yang harus disiapkan setidaknya adalah :
  • Biaya infrastrutur birokrasi, mulai dari pengaturan di MenPAN; rasionalisasi pegawai PHT ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola PS Jawa; Biaya transisi dari pekerja BUMN ke ASN pelayanan PS dan proses lainnya
  • Biaya infrastruktur phisik kantor; biaya kepindahan pegawai dan fasilitas pegawai dll
  • Biaya kelembagaan; pengaturan mekanisme kerja dan hal-hal untuk operasional UPT
  • Biaya pengelolaan Aset yang diserahkan Perum Perhutani ke Negara/KLHK
  • Biaya masa transisi dari Perhutani ke proses Persetujuan Pengelolaan PS
Dari sisi pemasukan Negara, sebuah konsekwensi yang juga harus dipikirkan adalah berkurangnya pemasukan Negara dari sisi pajak yang selama ini dibayarkan oleh Perhutani sebagai BUMN Kehutanan.  Pengembalian kepada Pemerintah akan menghilangkan pajak karena Pemerintah bukan objek pajak.  Terlihat dari SPPT Perum Perhutani Tahun 2020, terindikasi nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terdampak dari kebijakan pengelolaan hutan di Jawa yang akan dikeluarkan dari areal mereka untuk Pengelolaan PS.

Dari sisi kelembagaan, PS di Jawa ini akan berada dalam Areal KHDPK dan akan dikelola khusus oleh Unit Pelaksana Teknis yang ditetapkan oleh Menteri, yang akan membentuk unit manajemen kewilayahan berbasis unit KHDPK. Tugas dan fungsi unit pelaksana teknis sebagaimanaakan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. Salah satunya adalah mengelolaan aset tanaman, sumber daya manusia dan aset lainnya yang berasal dari badan usaha milik negara bidang kehutanan akan ditetapkan dengan keputusan Menteri terkait dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan operasional sumber daya manusia dapat dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Apa yang harus disiapkan di masa transisi maupun saat pelaksanaannya :
  • Sosialisasi mekanisme baru dalam proses permohonan Persetujuan Pengelolaan PS, melalui UPT;
  • Permodalan yang mengupayakan bahwa hasil PS setidaknya dapat menutup Biaya Operasional UPT dan kehilangan pemasukan negara karena kebijakan tersebut; dan
  • Peningkatan kapasitas SDM, karena masa peralihan dari pegawai BUMN menjadi ASN pelayan atau pendamping Diperkirakan sekitar 5.000 orang pegawai Perum Perhutani akan dilimpahkan kepada UPT khusus ini.
Terkait poin (3) di atas, SDM yang harus dikuatkan selain pendampingan PS di Jawa, Pasal 208 ayat (1) pada PP 23/2021 menyatakan bahwa persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang berada pada areal Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus KHDPK) atau PS di Jawa dapat dilakukan melalui Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan HTR.  Pilihan 3 skema ini memerlukan kapasitas dari SDM di UPT khusus yang menanganinya, mulai pemahaman; penguasaan teknis dan pendampingan proses.

Secara khusus, UPT ini juga harus dapat memfasilitasi atau melayani “pengembangan usaha” yaitu meningkatkan kemampuan lembaga Perhutanan Sosial dalam usaha Pemanfaatan Hutan antara lain melalui: (1). bimbingan; (2). supervisi; (3). pendidikan dan latihan; (4). penyuluhan; (5). akses terhadap pasar;  (6). permodalan; dan (7). pembentukan Koperasi.  Hal ini sangat tidak mudah dan harus disiapkan dengan baik.

PEMIKIRAN SOLUSI BERTAHAP
Upaya Pemerintah memberikan ruang kelola rakyat di Jawa melalui Persetujuan Pengelolaan PS, setidaknya harus berpikir beyond persetujuan.  Perkembangan dari capaian Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang ada sekarang  akan menjadi pembelajaran untuk 3 hal, yaitu :
  • Harus ada inovasi-inovasi baru yang bagus sebagai feedback dari pesatnya perkembangan PS di lapangan;
  • Mulai masuk pada bisnis proses dengan berbagai skema yang akan meningkatkan produktifitas lahan (paska ijin/persetujuan);
  • Kesempatan dan peluang (opportunity) masuknya Green Investment dari mitra-mitra Pemerintah dan lapangan pekerjaan yang terbuka bagi masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan transisi dari subsisten menuju komersil, sehingga harus ada roadmap per komoditi dengan memastikan adanya trial and error; feed back disetiap milestones; dan pilot project.  Dengan tiga hal itu maka membayangkan “Paradise Products PS” dengan adanya kepastian legalitas; keberlanjutan usaha dan Green Investment.  Oleh karena itu diperlukan pelatihan pada pendamping PS secara masal dan membangun modul-modul pelatihan yang berdasarkan prantik di lapangan.

Untuk mengurangi ketergantungan pada anggaran Pemerintah dan memberikan masukan pendapatan Negara yang hilang, maka PS di Jawa harus dapat mengembangkan dan menggagas produk-produk yang bisa dieksport, beberapa hal yang harus diwujudkan adalah :
  • Kawasan yang bebas konflik dan kepentingan yang menjadi alas usaha PS;
  • Mekanisme pembiayaan yang memerlukan peran Perbankan dan Green Investment mitra Pemerintah melalui BPDLH.
  • Eksport hasil dari produk PS, dengan skala usaha bukan subsisten.
  • BUMN yang menjadi offtaker bagi produk-produk yang dihasilkan PS
  • Produk-produk PS menjadi klaster komoditi tertentu, sehingga roadmap yang harus dibangun dengan Perencanaan Usaha (Business Plan) yang realistis.

Kebijakan KHDPK memberikan peluang bagi keterlibatan masyarakat, pemerintah daerah, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi (PT), swasta dan stakeholder yang lain untuk bersama-sama memperbaiki kondisi kawasan hutan

Kondisi yang ingin dicapai melalui KHDPK ini yaitu adanya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan; efektifitas dan efisiensi kelola Perhutani; penetapan kawasan hutan 100%; pengurangan lahan kritis di kawasan hutan; peningkatan daya dukung dan daya tampung; pengurangan konflik kawasan hutan dan peningkatan akses kelola masyarakat hutsos.

Sesuai amanat PP 23 tahun 2021, dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu penetapan wilayah Perhutani dan KHDP. Dilanjutkan dengan penataan regulasi, kelembagaan dan SDM serta tata Kelola KHDPK dan Perhutani. Disamping itu, dirancang desain perencanaan pengelolaan hutan di KHDPK dan Perhutani. Dengan begitu, ada operasionalisasi dan optimalisasi penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh Perhutani dan KHDPK untuk pemulihan hutan, pemanfaatan ekonomi dan kelola sosial di kawasan hutan Jawa.

Sesuai dengan Peraturan Menteri LHK nomor 4 tahun 2023, pendamping pemerintah pada KHDPK adalah pendamping yang berasal dari karyawan BUMN bidang kehutanan yang ditugaskan dalam pendampingan pengelolaan Perhutanan Sosial pada KHDPK. Disamping itu juga disampaikan terkait Kemitraan Kehutanan Perhutani Produktif.

Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) ditetapkan oleh Menteri dan dikelola oleh KHDPK yang dilakukan pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada BUMN bidang Kehutanan pada sebagian hutan negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten. KHDPK memiliki kriteria teknis sebagaimana Pasal 3 ayat (3) sebagai berikut :
  • Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang telah memperoleh izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial;
  • Areal pengakuan dan perlindungan kemitraan Kehutanan;
  • Telah dicadangkan untuk Perhutanan Sosial;
  • Telah dilakukan pengelolaan hutan atas inisiatif masyarakat;
  • Telah mendapat persetujuan penggunaan Kawasan Hutan;
  • Telah dilakukan kerja sama pangan dengan badan usaha;
  • Areal Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang tidak produktif; dan
  • Areal rawan konflik.
Pengelolaan Perhutanan Sosial pada KHDPK, dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan diberikan dalam bentuk skema :
  • Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa (HD);
  • Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm); dan
  • Persetujuan Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Untuk membantu percepatan akses dan peningkatan kualitas pengelolaan Perhutanan Sosial tingkat provinsi dibentuk Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang ditetapkan oleh gubernur.

AREAL KHDPK UNTUK KEPENTINGAN PERHUTANAN SOSIAL DI PULAU JAWA
Subyek Perhutanan Sosial (PS). Perhutanan Sosial dapat diberikan kepada :
  1. Perseorangan ( diarahkan membentuk kelompok tani)
  2. Kelompok Tani/Lembaga Masyarakat Desa; berjumlah 15-300 orang, selebihnya membentuk gabungan kelompok Tani Hutan
  3. Koperasi. Koperasi setempat yang bergerak di bidang pertanian, holtikultura, peternakan dan/atau kehutanan
Objek Perhutanan Sosial :

Kriteria

HD

HKm

HTR

Kemitraan

Kawasan

HL dan/atau HP yang belum dibebani perizinan/persetujuan bidang kehutanan

HL dan/atau HP yang belum dibebani perizinan/persetujuan bidang kehutanan

HP yang belum dibebani perizinan/persetujuan bidang kehutanan

HP dan/atau HL yang telah dibebani perizinan/persetujuan bidang kehutanan; HK

Lokus

1. Pada 1 desa atau landscape

2. Dalam PIAPS

3. Diluar PIAPS dengan pertimbangan

1.      Berada di dalam PIAPS

2.      Diluar PIAPS dengan pertimbangan

3.      Sudah dikelola oleh pemohon

1.      Berada di dalam PIAPS

2.      Diluar PIAPS dengan pertimbangan

Sudah dikelola oleh pemohon

1.      Areal sumber penhidupan masy setempat

2.      Areal konflik/berpotensi konflik

Luas diluar Pulau Jawa

Paling luas 5.000 ha per unit pengelolaan

Paling luas 5.000 ha per unit pengelolaan

15 ha per KK

Paling luas 5.000 ha per unit pengelolaan

15 ha per KK

Paling luas 5 ha per KK


Perhutanan Sosial di Pulau Jawa :
  1. Luas Maksimal 1.000 ha
  2. Per KK maksimal 2 ha
  3. Masyarakat setempat yang sudah mengelola kawasan hutan setidaknya selama 5 tahun
KHDPK untuk Perhutanan sosial yang sudah memiliki :
  1. Persetujuan (IPHPS dan Pengakuan Perlindungan Kawasan Hutan/KULINKK) harus bertransormasi melalui perubahan bentuk akses legal Pemanfaatan Hutan (PMLHK 4/2023 pasal 21)
  2. Untuk yang belum memiliki persetujuan berhak dilakukan fasilitasi Pemberian Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial (PMLHK 4/2023 pasal 14)
  3. Baik yang sudah memiliki persetujuan maupun yang belum memiliki persetujuan nantinya akan difasilitasi menjadi skema PS KHDPK : Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN PERSETUJUAN PENGELOLAAN PERHUTANAN SOSIAL

Hak pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial pada KHDPK :
  1. Perlindungan hokum
  2. Mengelola dan memanfaatkan hutan
  3. Manfaat dari sumberdaya genetic
  4. Mengembangkan ekonomi produktif
  5. Pendampingan da penyelesaian konflik
  6. Pendampingan kemitraan
  7. Pendampingan penyusunan rencana kelola PS, RKU, RKT
  8. Perlakuan yang adil
Kewajiban pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial pada KHDPK :
  1. Pengelolaan hutan lestari
  2. Menjaga hutan dari hutan dari kerusakan dan pencemaran
  3. Memberi tanda batas areal kerja
  4. Menyusun rencana pengelolaan hutan dan usahanya
  5. Penanaman dan pemeliharaan
  6. Membayar PNBP dari hasil pengelolaan PS
  7. Melakukan penataan hasil hutan
  8. Melaksanakan perlindungan hutan
Larangan pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial pada KHDPK :

  1. Pemindahtanganan persetujuan
  2. Menanam kelapa sawit
  3. Mengagunkan areal PS
  4. Menebang pohon pada Hutan Lindung
  5. Penggunaan peralatan mekanis pada Hutan Lindung
  6. Membangun sarana dan prasarana yang merusak pada Hutan Lindung
  7. Menyewakan areal persetujuan
  8. Menggunakan persetujuan PS untuk kepentingan lain
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENDORONG PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL
  1. Regulasi Pemda

Kebijakan pemda terkait Perhutanan Sosial dengan memasukkan Perhutanan Sosial ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengan daerah

  1. Mendorong Program Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial

Mendukung pelaksanaan Perhutanan Sosial melalui Permendagri No. 90/2019 dan NSPK lainnya sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan dan mengalokasikan anggaran pada program-program yang dapat berkontibusi terhadap implementasi pengembangan usaha Perhutanan Sosial kedalam Dokrenda

  1. Optimalisasi Peran Pemerintah Desa
    • Pemanfaatan Dana Desa untuk mendorong pembangunan dan pemberdayaan kesejahteraan masyarakat desa
    • Pembentukan BUMDes/BUMDesma sebagai akses modal, kerjasama offtaker dan akses pasar
    •  Pemberdayaan Pendamping Desa; pemberdayaan pendamping desa dalam penyusunan Peraturan Desa yang memasukkan kegiatan pengelolaan Perhutanan Sosial dalam pemanfaatan Dana Desa    
  1. Sinergi dan Kolaborasi

Membangun sinergi dan kolaborasi antar stakeholders lain yang terkait (pemerintah, BUMN, BUMD, Swasta, masyarakat, Perguruan Tinggi dll), mengingat kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis Perhutanan Sosial bersifat lintas urusan


Demikian rangkuman singkat mengenai Perhutanan Sosial pada lahan KHDPK di Pulau Jawa

Salam Perhutanan Sosial....❤❤












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PETANI KOPI KTH ERAS SOBO I DENGAN BANTUAN ALAT EKONOMI PRODUKTIF (GRINDER KOPI)

Alat Ekonomi Produktif (AEP) sangat penting bagi kelompok tani hutan karena dapat membantu mereka meningkatkan efisiensi dan produktivitas u...